Hidup Minimalis Ala Filsuf yang Relevan untuk Dicoba di Zaman Modern, Penasaran?

Oleh: Rory, Pada: 30 Mei 2025
Hidup Minimalis Ala Filsuf yang Relevan untuk Dicoba di Zaman Modern, Penasaran?
Hidup Minimalis Ala Filsuf yang Relevan untuk Dicoba di Zaman Modern, Penasaran?

Di tengah gaya hidup modern yang serba cepat, konsumtif, dan penuh distraksi digital, muncul kerinduan pada kehidupan yang lebih sederhana dan bermakna. Salah satu gaya hidup yang semakin populer adalah hidup minimalis. Namun, tahukah Anda bahwa konsep hidup minimalis bukan hanya tren masa kini, melainkan sudah dipraktikkan sejak ribuan tahun lalu oleh para filsuf besar dunia?

Dalam artikel ini, kita akan mengupas tuntas konsep hidup minimalis ala filsuf seperti Socrates, Diogenes, Epictetus, hingga tokoh modern seperti Henry David Thoreau. Kita juga akan membahas bagaimana ajaran mereka tetap relevan dan layak dicoba di era modern, dilengkapi dengan rujukan dari buku dan para ahli untuk memperkaya pemahaman Anda.

Apa Itu Hidup Minimalis?

Secara sederhana, hidup minimalis adalah gaya hidup yang berfokus pada hal-hal esensial, menyingkirkan yang tidak perlu, dan menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan. Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus, dua tokoh populer dalam gerakan minimalisme modern, mendefinisikannya sebagai:

“Minimalism is a tool to rid yourself of life’s excess in favor of focusing on what’s important — so you can find happiness, fulfillment, and freedom.”
The Minimalists

Namun jauh sebelum istilah "minimalisme" populer, para filsuf klasik sudah mengajarkan prinsip-prinsip serupa. Mari kita telusuri.

Socrates: Kekayaan Adalah Beban

Socrates (469–399 SM), filsuf besar Yunani, hidup dengan sangat sederhana. Ia percaya bahwa kekayaan bukanlah jalan menuju kebahagiaan. Dalam dialog Apologia, dikisahkan bahwa Socrates lebih memilih mencari kebenaran dan kebijaksanaan daripada harta benda. Ia berkata:

“The unexamined life is not worth living.”

Socrates juga sering terlihat berjalan tanpa alas kaki dan mengenakan pakaian sederhana. Baginya, mewah dan kenyamanan fisik tidak menjamin kebahagiaan jiwa. Ia mengajarkan bahwa hidup yang bermakna datang dari refleksi diri dan hidup sesuai kebajikan.

Pelajaran modern:
Di era konsumerisme, ajaran Socrates mengingatkan kita bahwa kebahagiaan tidak datang dari kepemilikan barang. Evaluasi hidup dan nilai-nilai pribadi lebih penting daripada sekadar pencapaian material.

Diogenes: Anti Konsumerisme Ekstrem

Diogenes dari Sinope (412–323 SM) adalah representasi hidup minimalis yang ekstrem. Ia dikenal karena hidup di dalam gentong, hanya memiliki secangkir air dan sepotong roti. Dalam kisah terkenal, Alexander Agung pernah mengunjunginya dan bertanya apakah Diogenes ingin sesuatu. Jawabnya:

“Ya, minggirlah. Kau menghalangi sinar matahari.”

Diogenes menentang budaya boros dan norma sosial yang membelenggu manusia. Ia membuktikan bahwa kebebasan sejati datang dari melepaskan keterikatan terhadap barang dan status sosial.

Pelajaran modern:
Walau tidak harus hidup di dalam tong seperti Diogenes, kita bisa mengadopsi prinsip "less is more". Tidak semua barang atau tren perlu diikuti. Fokuslah pada apa yang benar-benar Anda butuhkan.

Epictetus: Mengendalikan yang Bisa Dikendalikan

Epictetus (50–135 M), filsuf Stoik dari Roma, mengajarkan bahwa kunci kebahagiaan adalah membedakan hal yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan. Dalam bukunya Enchiridion, ia menulis:

“There is only one way to happiness and that is to cease worrying about things which are beyond the power of our will.”

Ia sendiri adalah mantan budak yang memilih hidup sederhana dan tidak terpaku pada kekayaan. Epictetus mengajarkan bahwa kebebasan batin lebih penting daripada kemewahan luar.

Pelajaran modern:
Hidup minimalis bukan sekadar merapikan rumah, tapi juga mengatur emosi dan pikiran. Kurangi konsumsi informasi berlebihan, kurangi reaksi terhadap hal-hal yang di luar kendali Anda.

Henry David Thoreau: Kembali ke Alam

Thoreau (1817–1862), seorang penulis dan filsuf Amerika, terkenal karena eksperimennya hidup di kabin kecil di Walden Pond selama dua tahun. Dalam bukunya Walden, ia menulis:

“Our life is frittered away by detail. Simplify, simplify.”

Thoreau percaya bahwa dengan hidup dekat alam dan menjauh dari hiruk-pikuk kota, manusia bisa menemukan ketenangan dan makna hidup. Ia memilih untuk mengurangi kebutuhan material dan memperkaya kehidupan spiritual.

Pelajaran modern:
Di era digital, Anda bisa mencoba digital detox, atau sesekali berlibur ke alam tanpa gadget. Mengurangi distraksi akan meningkatkan fokus dan rasa syukur.

Baca Juga : Fengsui yang Bisa Bikin Hidup Makin Nyaman.

Hidup Minimalis di Era Modern: Mengapa Relevan?

  1. Stres dan Burnout Tinggi
    Menurut WHO, stres dan gangguan mental meningkat tajam di era modern. Hidup minimalis membantu mengurangi beban mental dan menumbuhkan rasa cukup (contentment).

  2. Krisis Lingkungan
    Produksi dan konsumsi barang yang berlebihan menyebabkan polusi dan limbah. Minimalisme berarti konsumsi lebih bijak, sehingga ramah lingkungan.

  3. Efisiensi Finansial
    Dengan gaya hidup minimalis, Anda bisa menghemat pengeluaran, fokus pada tabungan, investasi, dan tujuan jangka panjang.

  4. Fokus pada Hubungan dan Kualitas Hidup
    Alih-alih menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, Anda bisa memanfaatkan waktu bersama keluarga, membaca buku, atau melakukan hobi yang bermakna.

Bagaimana Menerapkan Hidup Minimalis Ala Filsuf?

Berikut adalah langkah-langkah praktis yang bisa Anda coba:

1. Evaluasi Nilai dan Tujuan Hidup

Tanyakan pada diri sendiri: Apa yang benar-benar penting bagi saya? Apa yang membuat saya bahagia tanpa harus bergantung pada barang?

2. Kurangi Barang Tak Perlu

Terapkan prinsip KonMari (Marie Kondo): simpan hanya barang yang "spark joy". Sisanya, sumbangkan atau jual.

3. Buat Rutinitas Simpel

Hindari multitasking dan buat jadwal harian yang jelas. Fokus pada kualitas, bukan kuantitas aktivitas.

4. Latih Kesadaran (Mindfulness)

Praktekkan meditasi atau journaling untuk mengenali pikiran dan perasaan. Ini melatih Anda mengontrol respons dan keinginan impulsif.

5. Batasi Paparan Digital

Kurangi waktu di media sosial. Atur notifikasi, atau coba puasa digital seminggu sekali.

6. Bangun Relasi yang Tulus

Seperti ajaran Stoik dan Thoreau, hubungan yang bermakna lebih bernilai dari sekadar popularitas di dunia maya.

Pendapat Para Ahli

Dr. Cal Newport, profesor dan penulis buku Digital Minimalism, menyebut:

“Minimalism is not about reducing life’s pleasures, but about increasing your intentionality.”

Sedangkan Joshua Becker, penulis buku The More of Less, mengatakan:

“Minimalism is the intentional promotion of the things we most value and the removal of everything that distracts us from it.”

Keduanya menekankan bahwa minimalisme adalah alat, bukan tujuan, untuk menciptakan kehidupan yang lebih sadar, tenang, dan fokus.

Saatnya Mencoba Hidup Minimalis Ala Filsuf

Jika Anda merasa lelah dengan kesibukan, kejenuhan informasi, atau tekanan sosial, barangkali inilah saatnya Anda menerapkan hidup minimalis ala para filsuf. Gaya hidup ini bukan sekadar mengurangi barang, tapi juga memperkaya batin, memperjelas tujuan, dan mendekatkan Anda pada kehidupan yang lebih bermakna.

Mulailah dari langkah kecil: beberes rumah, puasa media sosial, atau menulis jurnal harian. Jangan lupa, sebagaimana kata Socrates, hidup yang tidak direfleksikan tidak layak dijalani.


Rujukan Buku & Ahli

  1. Plato - Apologia of Socrates

  2. Epictetus - Enchiridion

  3. Henry David Thoreau - Walden

  4. Cal Newport - Digital Minimalism (2019)

  5. Joshua Fields Millburn & Ryan Nicodemus - Minimalism: Live a Meaningful Life

  6. Marie Kondo - The Life-Changing Magic of Tidying Up

  7. Joshua Becker - The More of Less: Finding the Life You Want Under Everything You Own